Ihwal “-isasi”

Tendy K. Somantri*, KOMPAS, 18 Okt 2014

Pada sebuah pertemuan penerbitan pers internasional di Bangkok, Juni 2011, saya berbincang dengan beberapa editor dari Malaysia. Perbincangan kami berkisar pada perbandingan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Satu hal menarik yang kami perbincangkan saat itu adalah perbandingan penyerapan kata dari bahasa Inggris oleh bahasa Indonesia dan bahasa Melayu (Malaysia).

Konon Malaysia bukan menyerap kata dari bahasa Inggris, melainkan meminjam. Karena itu, sebagai pinjaman, Malaysia harus mengembalikan kata-kata itu ke bahasa Inggris. Bagaimanakah cara pengembaliannya? ”Dalam bentuk pelafalan!” Salah seorang editor surat kabar Malaysia menjawab dengan tegas. Dari bentuk pelafalan itulah, bahasa Malaysia kemudian menurunkannya ke dalam ragam tulis seperti pada bentuk basikal, bas, polis, hospital, dan trafik sebagai bentuk pinjaman dari bicycle,bus, police, hospital, dan traffic.

Walaupun tidak sepenuhnya benar, jawaban sang editor itu cukup masuk akal. Boleh jadi pendapat sang editor merupakan peninggalan pakar-pakar bahasa Melayu dulu. Bukankah sebutan kata pinjaman juga pernah digunakan para pakar bahasa Indonesia? Hanya, Pusat Bahasa Indonesia sudah cukup lama membuang sebutan itu dan menggantinya menjadi bentuk serapan. Alasannya, bahasa Indonesia tidak hanya menyerap kata, tetapi juga bentuk-bentuk lain seperti afiks (imbuhan) dan bentuk jadian (kata berimbuhan, gabungan kata, dan lain-lain). Bahasa Indonesia juga tidak bisa meminjam karena bentuk-bentuk itu tidak pernah bisa dikembalikan.

Perubahan istilah dari pinjaman menjadi serapan itu rupanya juga mengubah perilaku berbahasa para pengguna bahasa Indonesia. Sebagai bentuk serapan, bentuk-bentuk dari bahasa asing tersebut sudah diakui menjadi warga bahasa Indonesia sehingga dianggap dapat diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk asli bahasa Indonesia. Padahal, tidak semua bentuk serapan dapat diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk asli bahasa Indonesia, seperti pada sufiks -isasi.

Para pengguna bahasa Indonesia sering membuat istilah baru dengan merangkaikan kata asli Indonesia dan sufiks -isasi itu. Pembentukan istilah baru dengan -isasi itu tidak terlalu bermasalah apabila dilakukan oleh awam dalam konteks guyon atau candaan. Istilah-istilah itu akan segera hilang atau bertahan sebagai bentuk tidak baku dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, justru bentuk-bentuk baru yang aneh itu sering dilakukan para pemangku kepentingan. Kemudian bentuk-bentuk itu disebarkan melalui media massa yang tidak terlalu peduli kepada masalah kebahasaan. Contoh bentuk-bentuk itu adalahrayonisasi, kaderisasi, betonisasi, pompanisasi, pipanisasi, merealisasikan, menyosialisasikan, danpengaktualisasian.

Dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah tertera bahwa sufiks asing dalam bahasa Indonesia diserap sebagai bagian kata berafiks yang utuh. Artinya, bahasa Indonesia tidak menyerap secara khusus sufiks -isasi dan sufiks-sufiks asing lain. Karena itu, pengguna bahasa Indonesia harus hati-hati menggunakan bentuk-bentuk dengan sufiks -isasi.

Seperti pada contoh, bentuk rayonisasi dan kaderisasi tidak ditemukan dari bahasa asalnya (Inggris dan Belanda). Rayon (rayon) dan kader (cadre) memang ada dalam kosakata bahasa Inggris dan bahasa Belanda, tetapi tidak ada bentuk rayonisation/rayonisatie dan cadresation/cadresatie. Artinya, bentukrayonisasi dan kaderisasi adalah buatan para pemangku kepentingan di Indonesia yang hebatnya juga sudah menjadi lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bentuk lebih aneh sering muncul di media massa seperti betonisasi, pompanisasi, pipanisasi, dan bronjongisasi. Padahal, bentuk-bentuk itu dapat diganti dengan bentuk yang sangat mengindonesia; perayonan, pengaderan, pembetonan, pemompaan,pemipaan, dan pembronjongan.

Pada bentuk merealisasikan, menyosialisasikan, atau mengaktualisasikan terjadi dua kali proses pembentukan kata yang tidak selaras. Realisasi, sosialisasi, dan aktualisasi merupakan bentuk jadian yang sepadan dengan perwujudan, pemasyarakatan/pengumuman, dan pengaktualan. Bagaimana mungkin bentuk-bentuk itu mendapat konfiks me+kan? Apakah bentuk merealisasikan,menyosialisasikan, dan mengaktualisasikan akan selaras dengan memperwujudkan,mempermasyarakatankan, dan mempengaktualankan? Bukankah akan lebih mudah bila kita menggunakan bentuk mewujudkan, memasyarakatkan, dan mengaktualkan? Lucunya, KBBI pun sudah menyerap bentuk-bentuk itu sebagai lema.

Andai saja bahasa menjadi barang yang sangat berharga, saya yakin orang Inggris dan Belanda akan memprotes keras Pemerintah Indonesia. Mungkin, bagi mereka, perlakuan Malaysia terhadap bentuk-bentuk asing sebagai kata pinjaman lebih bijaksana dibandingkan dengan melakukan penyerapan lalu memperlakukannya secara semena-mena.

*) Editor dan Pengajar di FISS Universitas Pasundan, Bandung

Tentang Kang Tendy

Sempat menyesal mendalami ilmu bahasa, tetapi malah jadi merasa beruntung setelah memilih profesi menjadi wartawan. Ternyata, kemampuan berbahasa sangat mendukung saya menjalani profesi wartawan.
Pos ini dipublikasikan di bahasa. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar